Salman Rushdie

Redaksi Pena Budaya
633 views
Oleh: AA Basith (Pegiat Rumah Konflik) Ilustrasi: Hana H

Oleh: AA Basith (Pegiat Rumah Konflik)
Ilustrasi: Hana H

Rushdie tak mengira bahwa hari itu ia akan mendapat kecaman yang begituserius, tidak tanggung-tanggung, ia diburu dan dikejar untuk dibunuh akibat buku “The Satanic Verses”yang baru setahun selesai digarapnya. Fatwa mati dikeluarkan oleh pemimpin Republik Islam Iran, Imam Khomeini yang begitu murka terhadap karya tersebut karena dianggap melecehkan nabi Muhammad dan agama Islam.

Kecaman datang dari berbagai penjuru dunia. Umat Islam bergejolak, terkejut, panik, merasa dilecehkan. Pemerintah Iran menjanjikan hadiah uang yang cukup besar bagi siapapun yang mampu membunuh Salman Rushdie. Dalam buku itu, Salman Rushdie memang bisa dibilang nakal karena seenaknya menabrak pakem dalam agama. Merekonstruksi sejarah dan mencampuradukan dengan fiksi. Menggambar sosok Tuhan dan Malaikat. Mengobrak-abrik apa-apa yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran mutlak dalam Agama.

Rushdie menggunakan nama Mahound untuk merujuk Nabi Muhammad. Konon kata ini merupakan penghinaan dari kalangan pasukan salib pada masa Perang Salib. The Satanic Verses menggambarkan kehidupan sosok Mahound, bahkan tak tanggung-tanggung menyebutnya sebagai pedagang yang gila saat pertama melihat malaikat Jibril. Jibril juga digambarkan secara absurd duduk di tempat tidur dan rambutnya mulai botak. Dan yang tak kalah keterlaluan adalah ketika menggambarkan bahwa Mahound adalah sosok penipu dan pengarang ayat-ayat dalam Al-Qur’an.

Hingga kini polemik terhadap The Satanic Verses atau yang diterjemahkan menjadi Ayat-Ayat Setan masih berlangsung. Pada tahun 1991, penerjemah The Satanic Verses ke dalam bahasa Jepang ditemukan tewas terbunuh di kantornya, Univeritas Tsubuka, Jepang. Kematiannya sampai hari ini masih belum terungkap, tapi banyak pihak menganggap bahwa kejadian itu erat kaitannya dengan fatwa mati yang dikeluarkan oleh Khomeini terhadap siapapun yang terlibat dalam penulisan dan penerbitan The Satanic Verses. Seorang penerjemah dari Italia sempat diserang di apartemennya. Sementara di Turki, penerjemah berhasil kabur dari upaya pembakaran hotel tempatnya menginap. Nygaard, direktur utama perusahaan penerbit Aschehoug, yang menerbitkan buku The Satanic Verses dalam bahasa Norwegia ditembak tiga kali oleh orang tak dikenal di rumahnya pada tahun 1993.

Akhir tahun lalu, pemerintah Arab Saudi memprotes penerbitan ulang The Satanic Verses di Negara Ceko. Arab Saudi meminta duta besar Ceko untuk menghentikan peredaran buku itu. Penerbit buku sendiri, Paseka mengatakan bahwa mereka telah menjual 5000 eksemplar buku itu dan tak ada masalah. Sementara penerjemahnya tidak berani menggunakan nama asli.

Fatwa mati yang dikeluarkan Khomeini memaksa Rushdie hidup dalam persembunyian selama sembilan tahun. Pada tahun 1998, pemerintah Iran mengatakan telah menganggap fatwa mati terhadap Rushdie tidak berlaku akan tetapi menolak mencabut fatwa tersebut. Ia mendapat suaka politik dari Negara Inggris. Yang membuat hubungan antar kedua Negara memanas. Sampai hari ini, Rushdie masih tinggal berpindah-pindah dan dilindungi kepolisian.

Pada tahun 2010, Rushdie dilaporkan pernah menjadi target pembunuhan oleh kelompok militan Al Qaeda. Bahkan baru-baru ini ancaman pembunuhan terhadap Rushdie kian gencar. Sebuah organisasi keagamaan di Iran berjanji akan memberikan hadiah senilai 44 Miliar Rupiah bagi siapapun yang berhasil membunuhnya.

Rushdie adalah sosok yang aneh dan nyeleneh. Tulisannya memang selalu menentang pakem yang ada. Hal itu bisa kita lihat dalam karyanya yang lain. Semisal dalam Haroun and The Sea of Stories yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Harun dan Samudra Dongeng.” Dalam buku itu, Rushdie mengobrak-abrik dongeng putri yang diselamatkan pangeran. Akibat terjadi pencemaran terhadap samudra dongeng, kisah yang seharusnya berakhir bahagia justru di bagian akhir berubah demikian drastis: setelah diselamatkan, pangeran dibunuh oleh pedang sang puteri dan dijatuhkan dari menara.

Rushdie bukan hanya menghasilkan Ayat-Ayat Setan. Sebelum karya itu terbit, ia telah menerbitkan tiga buku. Salah satunya, Midnight Children, meraih penghargaan Booker Prize pada tahun 1981. Dua tahun setelahnya ia kembali menelurkan karya dengan judul Shame yang mendapat sambutan hangat pembaca dan berhasil mendapat penghargaan sastra Perancis. Hal itu membuktikan bahwa kualitas kepenulisan Salman Rushdie dengan daya imajinasinya yang terlampau liar tidak bisa dipandang sebelah mata.

Begitu besar pengaruh yang ditimbulkan oleh karyanya membuat kita memandang lebih luas lagi karya sastra. Realisme magis yang mencampurkan antara realitas dan fiksi ternyata telah membawa kita pada dilema: apakah sebuah karya sastra bisa digugat ketika berselisih dengan kenyataan umum yang berlaku di masyarakat? Sejauh mana kita bisa mendesak dan membedakan fiksi dan non-fiksi? Lalu apakah pantas seorang pengarang diburu sedemikian rupa akibat karyanya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menarik untuk dijawab oleh kita, terlebih para kritikus dan penikmat sastra.

Karen Armstrong, penulis buku Sejarah Tuhan pernah mengatakan bahwa di barat, kebanyakan orang justru hanya mengenal Muhammad lewat penggambaran yang dilakukan oleh Rushdie dalam The Satanic Verses. Ia sendiri menilai penggambaran Rushdie dalam buku itu kelewatan dan sangat buruk. Hal ini pula yang melandasi ia menulis risalah tentang Nabi Muhammad yang lebih adil dan proporsional.

Nama Rusdhie yang terlanjur lekat dengan pendosa dan hal-hal kontroversial membuat sebagian dari kita tidak adil dalam menilai karya-karyanya. Catatan historis yang menyelubungi kehidupannya membuat kita merasa ngeri meski bahkan belum membaca satu pun karyanya. Padahal di luar The Satanic Verses, buku-buku Rushdie sangat baik dan layak dibaca. Belakangan di Indonesia, buku-buku Salman Rushdie mulai diterjemahkan. Tercatat ada beberapa judul yang telah dialihbahasakan yaitu, “Rambut Sang Nabi”, “Midnight Children”, “Harun dan Samudra Dongeng”, dan “Luka dan Api Kehidupan”. Bahkan terlihat upaya untuk mengembalikan citra Rusdhie sebagai pendongeng. Hal ini terlihat dari cover yang divisualisasikan dengan gambar anak-anak dan animasi lucu. (Lihat terbitan Serambi). Semoga hal itu berdampak signifikan bagi kita semua untuk menikmati karyanya dengan proporsional dan sedikit mengesampingkan kontroversi penulisnya.

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran