Omnibus Law: Awal Mula Rezim Inkuisisi Para Penjaga Sakral?

Redaksi Pena Budaya
778 views

Diawali dengan keinginan pemerintah membuka sebanyak-banyaknya keran investasi, undang-undang sapu jagat—atau yang lebih dikenal sebagai omnibus law—belakangan ini menuai banyak kontroversi.

Hal ini disebabkan oleh dampaknya yang lebih merugikan bagi masyarakat, terutama para buruh. Dalam jangka waktu 100 hari berkuasa, rezim saat ini mengharuskan program pemangkas peraturan-peraturan penghalang investasi tersebut disahkan.

Kecacatan dalam penyusunan RUU ini terihat ketika pembentukan satgas omnibus law yang  beranggotakan lebih dari 100 orang hanya terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, dan perguruan tinggi, tanpa memasukan unsur sipil di dalamnya, seperti buruh, para peladang, masyarakat adat, dll.

Tentu saja hal ini semakin menguntungkan para investor dan membuat rugi buruh serta masyarakat sipil lainnya. Diiringi suara penolakan yang bergema di mana-mana, pemerintah mengajak sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk rapat mengenai omnibus law.

Namun, dikutip dari CNNIndonesia.com (03/03/20), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menolak untuk memenuhi undangan tersebut. Menurutnya, RUU ini sama sekali tidak mempunyai urgensi untuk dilanjutkan.

Senada dengan Walhi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) turut memutuskan untuk tidak menghadiri rapat serta secara tegas meminta omnibus law untuk ditarik.

Mungkin banyak yang lupa bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) juga berimplikasi ke hal subtantif yang jarang menjadi sorotan media, yakni kebudayaan.

Bagaimana mungkin tidak mengganggu kebudayaan asli dari Indonesia, sedangkan banyak dari undang-undang dalam RUU ini yang mengancam komunitas-komunitas masyarakat adat Indonesia.

 Menurut data dari AMAN, komunitas adat di seluruh Indonesia berjumlah sekitar 2.359, bahkan lebih. Para penjaga kebudayaan tersebut semakin terancam oleh munculnya omnibus law.

Dari sekian ratus pasal, terlihat cukup banyak yang berpotensi semakin menyudutkan masyarakat adat di tempat mereka hidup, seperti UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 49.

Secara eksplisit, pasal tersebut direvisi dengan menghapus kalimat: “Pemegang izin usaha bertanggung jawab atas kebakaran hutan di perkebunan dan perhutanan”. Perubahan tersebut dapat berbuntut hilangnya ketentuan pidana terhadap para pemegang izin usaha.

Selain itu, masih dalam UU yang sama, Pasal 84 dan 85 yang menjelaskan tentang penebangan dan pengambilan kayu secara ilegal justru tidak mengalami perubahan.

Padahal, pasal ini sering digunakan untuk mengkriminalisasi para penduduk asli, seperti kasus Nenek Asyani* atau tuduhan illegal logging yang kontroversial.

Dilansir dari detik.com (13/02/20), pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masyarakat adat kembali dirugikan dengan rancangan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) yang diperpanjang hingga 90 tahun, setelah sebelumnya hanya 35 tahun.

Alih-alih meloloskan RUU Masyarakat Adat yang sudah diperjuangkan dari beberapa tahun sebelumnya, rezim justru seakan-akan sangat ingin RUU omnibus law ini diloloskan terlebih dahulu.

Mirisnya, propaganda omnibus law dibuat seolah RUU tersebut meningkatkan investasi sejalan dengan perluasan lapangan kerja di negeri ini. Ditambah, para penyusunnya yang menyampingkan pendapat dan keinginan unsur sipil, terutama masyarakat adat yang menjadi ciri Indonesia kaya akan budaya. (Alf/Zai)

*Berita Nenek Asyani: https://nasional.sindonews.com/read/974906/149/kasus-nenek-asyani-potret-buram-hukum-1426043247

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran