Nasi: dari Meja Makan ke Kursi Kekuasaan

Redaksi Pena Budaya
624 views

Banyak sekali variasi flora yang tumbuh di Indonesia. Dari beribu macam flora ini, beberapa menjadi makanan pokok, sebut saja jagung, sagu, kentang dan nasi (beras). Untuk yang terakhir itu, tercatat Indonesia merupakan negara pengonsumsi beras terbesar ketiga di dunia. Kenapa akhirnya beras menjadi “wajah Indonesia” padahal kita mempunyai banyak sekali pilihan pangan lainnya untuk dimakan?

Indonesia diberkahi dengan keanekaragaman hayati yang tercermin dari banyaknya pilihan menu makanan. Hampir tiap daerah mempunyai ciri khas panganannya masing-masing. Faktor lingkungan tentu berperan penting terhadap variasi panganan yang dikonsumsi ini, misalnya kita akan menemukan kecenderungan rata-rata orang Sunda yang suka mengonsumsi lalapan karena keadaan geografis barat Pulau Jawa yang cocok ditanami sayur mayur. Sementara itu masyarakat Indonesia sebelah timur acapkali memakan sagu atau jagung sebagai makanan pokoknya ketimbang nasi lantaran bahan pangan tersebut cocok bertumbuh di sana. Jagung misalnya, cocok ditanam di lingkungan yang bercurah hujan rendah seperti di Pulau Sumbawa dan kepulauan sekitarnya. Hal ini berlaku pula di Pulau Madura dengan tanaman kentangnya. Di daerah timur lainnya sagu seolah tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya sistem pertanian ala ala pesawahan atau kebun di barat Indonesia. Masyarakat di Papua telah lama memakan sagu sebagai makanan pokok karena bahan pangan ini tumbuh liar di lingkungan sana.

Dengan adanya keragaman ini tentu memengaruhi kebudayaan masyarakat setempat. Bahan pangan menjadi simbol dari tradisi yang dianut oleh masyarakat.  Tradisi-tradisi (makan) berkembang bersesuaian dengan ketersediaan bahan pangan alami yang ada di tempat tersebut. Orang-orang yang tidak membudidayakan padi sebagai bahan pangannya tentu tidak pernah mengenal Dewi Padi; Sri, yang bagi orang Jawa merupakan representasi dari kesuburan. Ritual-ritual yang bersangkut paut dengan kepercayaan setempat seperti misalnya upacara adat untuk menyambut kelahiran bayi berbeda-beda di tiap daerah karena faktor ketersediaan panganan yang ada di daerah tersebut. Bagi orang Jawa menyediakan sesajen bubur merah-bubur putih, bagi suku lainnya tentu lain lagi. Dus, akhirnya persoalan makanan bukan hanya soalan perut tetapi juga menjadi cermin budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu.


Kolonialisasi Lewat Padi

Dari banyaknya pilihan panganan di Indonesia ini mengapa pada akhirnya kita menetapkan nasi sebagai “makanan nasional” kita lantas menjadikannya sebagai makanan pokok? Padahal sumber-sumber karbohidrat dari selain nasi sebenarnya banyak juga, seperti yang telah disebutkan. Secara kultural, kebiasaan memakan nasi ini pun awalnya hanya dimiliki oleh suku bangsa yang secara geografis berada di barat Indonesia, khususnya bagi Jawa sendiri sebagai etnis yang menjadi mayoritas. Bagi masyarakat timur Indonesia agaknya nasi tidak begitu biasa untuk dikonsumsi sebagai makanan keseharian.

Pemilihan nasi sebagai wajah pangan nasional dimulai oleh adanya kebijakan dari Suharto dengan semangat swasembada pangannya. Bagi Suharto—seperti yang dikatakan falsafah Jawa–pemimpin yang baik adalah yang dapat menyediakan bahan pangan bagi rakyatnya, dalam hal ini ya beras. Celakanya dengan penyediaan bahan pangan ini dibarengi pula dengan upaya penyeragaman makanan pokok menjadi beras. Pada akhirnya sampai kini masyarakat Indonesia menjadi amat bergantung terhadap ketersediaan beras ini, bahkan pula sampai mengimpornya.

Pemilihan beras sebagai makanan pokok menjadi gambaran bahwa Orde Baru telah melakukan “Jawanisasi” ke daerah-daerah lainnya di Indonesia. Suharto yang hidup dalam “alam Jawanya” mengadopsi nilai-nilai Jawa yang secara praktis diterapkan terhadap kebijakan negara yang ia pimpin, termasuk dalam hal makanan. Bila ditilik secara sosiokultural tentu ini dapat mematikan tradisi-tradisi lain yang sebelumnya telah ada, khususnya dalam hal panganan. Pengenalan nasi ke beberapa daerah melalui transmigrasi mematikan tradisi memakan panganan lain. Di Papua ketika mulai tersebarnya transmigran Jawa misalnya, timbul pendapat kolektif dari masyarakat setempat yang mengasosiasikan nasi adalah makanan orang-orang maju dan sagu makanan orang-orang bodoh terbelakang. Akhirnya masyarakat Papua yang awalnya menjadikan sagu sebagai makanan pokok perlahan beralih menjadi ke nasi yang untungnya masih disubsidi oleh pemerintah pada saat itu.

Kasus yang sama sebenarnya telah terjadi jauh ketika masa Mataram menguasai tanah Pasundan. Masyarakat Sunda kala itu menjadi masyarakat sawah padahal sebelumnya adalah masyarakat peladang yang nomaden. Perubahan tersebut ada lantaran kebijakan Mataram terhadap Sunda yang mewajibkan dibukanya lahan-lahan pesawahan untuk mengisi lumbung-lumbung padi sebagai bekal pangan bagi pasukan-pasukan Mataram, khususnya ketika Mataram ingin merebut Batavia dari VOC.

Upaya penjajahan budaya lewat makanan ini sebenarnya tidak begitu direpotkan karena masyarakat kita tidak menyadari betul apa yang sebenarnya telah terjadi. Adanya ketergantungan terhadap nasi yang cukup tinggi, menjadikan kita membuka lahan-lahan pesawahan yang baru. Kawasan hutan dibabat bagi ketersediaan lahan pesawahan. Di Kalimantan misalnya, sempat ada pembukaan lahan bagi pesawahan transmigran yang malah akhirnya terbengkalai sampai kini karena tidak terurus. Di Papua hal yang sama terjadi, pembukaan lahan hutan untuk pesawahan dicanangkan oleh Jokowi. Mirisnya, penanaman padi yang sempat dilakukan di sana selalu diancam oleh kegagalan panen lantaran kondisi tanah pegunungan Papua yang tidak cocok ditanami oleh tanaman ini. Kenapa kita harus capek-capek mengurusi panganan lain sementara sagu sendiri secara alami tumbuh di pegunungan Papua?

Soalan nasi menjadi punya dampak lain selain terhadap pola makan saja, tiap daerah yang awalnya mempunyai ciri khas makanannya masing-masing seolah diseragamkan dengan pemilihan nasi sebagai makanan pokok. Dampak perubahan ini secara sosiokultural mematikan tradisi-tradisi mengolah makanan pokok lainnya di beberapa daerah (padahal ini adalah kekayaan budaya yang mestinya tetap lestari). Sementara itu pembukaan lahan adalah isu lingkungan yang agaknya perlu diperhatikan karena membabat hutan-hutan yang ada dan tentu berpengaruh terhadap pemanasan global.  

Penulis: Fikry Ainul Bachtiar
Editor  : Fikry Ainul Bachtiar

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran