Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Girl Up Unpad Adakan Diskusi tentang Kekerasan Seksual di Unpad

Ananda Bintang
723 views

Dalam rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), Girl Up Unpad mengadakan diskusi umum bertajuk “Kekerasan Seksual di Universitas Padjadjaran, Peraturan Sudah Sampai Mana?” pada hari Sabtu (11/12). 

Diskusi ini dihadiri oleh empat penanggap, yaitu; Antik Bintari, S.IP., MT, Peneliti Pusat Riset Gender Unpad; Salsabilla Tiara Aulia, PLEADS Unpad; Jovanna Tan, Hopehelps Unpad; Tatiana Ramadhina, Aliansi Persma Unpad; dan Rohman Hikmat, BEM Kema Unpad. 

Aulia Rizki sebagai Officer Girl Up Unpad mengawali diskusi ini dengan memaparkan pengertian kekerasan seksual dan beberapa pertanyaan pemantik untuk ditanggapi oleh para penanggap. “Kemendikbud baru saja mengeluarkan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 Tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual, setahun sebelumnya, Unpad sudah mengeluarkan Peraturan Rektor No. 16 Tahun 2020 Mengenai Kekerasan Seksual, namun apakah sudah berdampak?” 

Pertanyaan tersebut ditanggapi oleh Antik Bintari. Menurutnya, meskipun sudah memiliki peraturan rektor tentang kekerasan seksual, peraturan tersebut masih belum memiliki SOP yang jelas. Penanganan kasus kekerasan seksual masih dilakukan secara sporadis dan belum ada integrasi terpusat di tingkat Universitas yang lebih komprehensif dan inklusif. 

“Banyak korban kekerasan seksual yang akhirnya memilih untuk melaporkan kasusnya pada dosen yang mereka percayai. Hal ini sangatlah sporadis. Sedangkan peraturan rektor mengharuskan korban untuk melapor ke Dirkema (Direktorat Kemahasiswaan) yang jaraknya terlalu jauh,” ujarnya. 

Sependapat dengan Antik, Rohman Hikmat juga menambahkan bahwa ketika BEM Kema Unpad mendampingi penyintas untuk melaporkan pada rektorat, alur birokrasinya terlalu berbelit-belit dan cenderung saling melempar tanggung jawab. 

“Dirkema cukup sibuk menangani kegiatan akademik dan agak susah jika alur pengaduan hanya ke Dirkema, karena semua tentang kemahasiswaan yang mengatur itu Dirkema. Selain itu, alur pelaporan juga membingungkan. Beberapa kali ke rektorat dan disuruh ke fakultas, setelah di fakultas disuruh lagi ke rektorat. Tapi, alhamdulilah sekarang korban dalam pendampingan PIP (Pusat Inovasi Psikologi) Unpad,” tandas Rohman. 

Unpad sendiri sebenarnya sudah memiliki dua lembaga besar terkait bantuan hukum dan psikologi (seperti PIP), namun, menurut Antik Bintari, yang menjadi persoalan adalah bagaimana para korban kekerasan seksual ini perlu pendampingan menuju dua lembaga tersebut. “Tim Pendampingan kadang tidak memiliki perspektif gender yang baik, sehingga kadang menyalahkan korban dan mengurungkan niat korban untuk melapor,” imbuh Antik. 

Mengenai dikeluarkannya Permendikbud No 30 Tahun 2021, Antik Bintari sangat merespons positif keluarnya peraturan tersebut. Menurutnya ini adalah langkah maju dalam menangani kasus kekerasan seksual yang semakin menjamur di perguruan tinggi. Dengan adanya peraturan tersebut, membuat kampus jadi semakin percaya diri untuk membuat peraturan yang lebih berani dan progresif. 

“Unpad merespons positif Permendikbud No. 30 dengan mengadakan webinar mengenai kekerasan seksual. Unpad juga sedang merevisi peraturan rektor yang dahulu, agar lebih sesuai dengan Permendikbud No. 30. Saya berharap revisinya akan lebih baik dan lebih inklusif,” pungkasnya. 

Kendati demikian, menurutnya, peraturan hanyalah support system, tapi komponen utamanya adalah bagaimana kita mengubah norma secara sistematis. “Hal yang perlu dilakukan untuk mengubah norma adalah mengubah kurikulum. Pada semester 1 misalnya, adakan mata kuliah gender yang juga membahas isu-isu kekerasan seksual untuk mahasiswa dan juga dosen. Lalu sediakan Hotline pengaduan dari tingkat Fakultas sampai Universitas. Setelah itu, buat beberapa poster besar di lingkungan kampus tentang kampanye anti kekerasan seksual,” tambah Antik. 

Serupa dengan Antik, Jovanna Tan mengatakan bahwa peraturan rektor masih belum komprehensif karena tidak ada sanksi administratif atau sanksi lainnya terhadap pelaku. Meskipun begitu, dengan hadirnya Permendikbud No. 30, ia juga berharap akan membuat kampus-kampus di Indonesia terutama Unpad, menjadi ruang aman terutama dari kekerasan seksual. 

“Kampus sudah seharusnya menjadi safe place alih-alih menjadi tempat paling berbahaya. Kami (Hopehelps) siap membantu Unpad menjadikan ruang aman untuk siapapun. Meskipun baru terbentuk November ini di Unpad dan direncanakan akan resmi rilis tahun 2022, Hopehelps sebagai pengada layanan cepat tanggap anti kekerasan seksual di berbagai kampus di Indonesia, siap menerima berbagai laporan kekerasan seksual dan menyediakan bantuan hukum sampai psikologis untuk korban jika dibutuhkan,” ujar Jovinna. 

Perspektif lain datang dari Salsabila Tiara Aulia. Ia memusatkan tanggapan dari ranah hukum dengan membedah dan membandingkan pasal-pasal yang ada di Peraturan Rektor dan Permendikbud.  

Selain perbedaan jumlah pasal, di mana Peraturan Rektor memiliki 8 Pasal sementara Permendikbud memiliki 58 pasal, perbedaan paling signifikan juga terletak pada perbedaan diksi antara pelecehan seksual yang tertera dalam Peraturan Rektor dan juga kekerasan seksual yang tertera dalam Permendikbud. “Diksi kekerasan seksual lebih tepat digunakan karena pelecehan seksual sifatnya pelanggaran terhadap dignity, sementara kekerasan seksual sifatnya lebih tinggi,” jelas Salsabila. 

Pemantik dalam diskusi tersebut, Aulia juga menambahkan bahwa pelecehan seksual termasuk ke dalam kekerasan seksual, jadi sifat diksi kekerasan seksual lebih inklusif dan umum ketimbang pelecehan seksual. 

Penanggap terakhir datang dari Tatiana Ramadhina yang memberikan perspektif peran media khususnya media kampus atau pers mahasiswa dalam meliput kekerasan seksual. Menurutnya, media memiliki peran penting dalam mengawal isu kekerasan seksual, meskipun terkadang masih banyak media yang akhirnya tidak berpihak pada korban. 

“Masih banyak media yang masih membawa embel-embel pihak ke-3. Seperti pelaku melakukan kekerasan karena godaan setan atau khilaf dan sebagainya yang justru seolah-olah kesalahan bukan datang dari pelaku,” ungkap Tatiana. 

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran