Kuliah Daring (Bagian II)

Redaksi Pena Budaya
8356 views

Sumber foto: Kompasiana.com

Keesokannya, hujan mengguyur desa kami tanpa henti dari pagi sampai siang. Datangnya hujan tersebut secara tidak langsung mematikan sementara koneksi internet yang sejak awal memang sudah sekarat.

Membuat ponsel pintarku sama sekali tidak berguna kecuali untuk bermain musik.

Selama berjam-jam semenjak bangun tidur tidak satu pun yang kulakukan selain terus menekan tombol-tombol huruf yang terdapat di laptop, mengerjakan tugas-tugas yang memang sengaja kubiarkan menggunung karena satu dan lain alasan.

Seharusnya ada kuliah pukul sepuluh tadi, namun karena koneksi yang takbisa diajak kompromi, aku pun membolos kali ini.

Baru setelah jarum pendek dari jam dinding menunjukkan pukul dua belas siang, hujan pun reda. Awan mendung kemudian menampakkan sosok matahari yang tegak bertengger di tengah langit.

Aku pun keluar rumah untuk mengajak Mara pergi ke hutan sesuai yang telah kami rencanakan sehari sebelumnya.

Awalnya ia ragu-ragu dengan alasan tanah di hutan pasti becek dan licin akibat hujan, tetapi setelah aku bujuk dengan berjanji akan membantu mengerjakan tugas sekolahnya ketika internetku lancar, ia pun setuju ikut.

Tahu kenapa aku mati-matian mengajaknya ikut? Padahal aku bisa saja pergi ke hutan seorang diri.

Tunggu! Jangan mengecap aku sebagai lelaki bejat yang mengajak cewek SMA ke hutan untuk ena-ena!

Walau aku bukan pemuda saleh yang tingkah lakunya mencontoh orang-orang alim, setidaknya aku terbilang laki-laki baik.

Alasan kenapa aku mengajak Mara ke hutan tak lain semata-mata karena aku adalah orang yang penakut. Hanya Mara-lah yang bisa kumintai tolong untuk menemani.

Singkat cerita kami sampai di tujuan. Hutan yang kami maksud bukanlah berantara rimba mirip hutan amazon, melainkan daerah dengan rumpun pepohonan jarang yang letaknya sedikit lebih ke pedalaman dari kebun-kebun tempat warga desa kami biasa berladang.

Segera aku keluarkan ponselku dan mengangkatnya tinggi ke udara diikuti Mara yang juga melakukan hal yang sama.

Keningku mengerut tatkala simbol-simbol yang ada di pojok kanan atas ponselku masil menunjulkan huruf “E”, yang artinya jaringan internet masih buruk.

“Lah, kok masih jelek, sih? Percuma dong kita ke sini.” Tampak Mara mulai kesal dan kecewa menggoyang-goyangkan ponselnya dengan kasar, mirip ibu-ibu pengocok arisan yang kesal karena kertas namanya belum juga muncul.

Ia yang putus asa lantas mengajakku untuk pulang kembali ke desa. Aku pun merasakan hal yang sama.

Rasa kecewa kemudian yang membuat kakiku melangkah tanpa sadar mengikuti Mara dari belakang, menyusuri jalan setapak yang akan menuntun kami kembali ke desa.

Namun, sebelum melangkah lebih jauh, aku berhenti sejenak tatkala mataku menangkap sebuah pohon angsana yang tumbuh tepat di pinggir tebing.

Letaknya yang cukup tinggi di antara pepohonan lainnya menjadikannya sebagai tempat yang sempurna untuk menangkap sinyal internet.

“Kita coba ke sana, Mar! Pasti sinyalnya bagus,” ucapku berseru sembari pandanganku mencari-cari jalan setapak yang sekiranya bisa membawaku ke tempat pohon itu.

“Eh, tapi …”

Tanpa menunggu jawaban, segera kusambar tangannya dan menariknya tatkala akses jalan ke tempat itu berhasil kutemukan.

Rerumputan dan semak yang masih basah akibat guyuran hujan yang baru saja reda sama sekali tak menghentikan langkahku.

“Ayo, kita naik!”

“Seriusan!?”

“Asli.”

Lantas kedua tanganku mencengkeram batang besar pohon itu dan merangkak naik. Sasaranku adalah dahan yang paling pendek sebagai lokasi check-point.

Kuraih dahan itu untuk kemudian berusaha berdiri menegakkan tubuh. Sedikit sulit untuk memanjatnya karena licin akibat hujan.

Sambil menjaga keseimbangan, aku ulurkan tanganku ke bawah yang kemudian disambut oleh Mara yang lantas mengikutiku naik.

Setelah Mara berada di dahan yang sama, kembali kuraih dahan yang lebih tinggi. Kuulangi apa yang kulakukan sebelumnya sampai akhirnya kami berada di atas dahan yang cukup tinggi.

Dahan pohon angsana ini sangat besar sehingga menjadi tempat yang nyaman untuk sekadar bermain-main menghabiskan waktu ataupun tempat belajar. Dan sesuai dugaanku, jaringan internet di tempat ini sedikit lebih baik.

Aku bisa mengakses video pembelajaran yang sebelumnya kuminta dosen untuk disimpan di Google drive agar bisa kutonton ketika jaringan internetku lebih baik, seperti sekarang. Akhirnya aku bisa belajar dengan baik.

Namun, dengan berbagai manfaat dan kenyamanannya, tempat ini juga memiliki pertaruhan yang cukup besar. Pohon angsana yang kami naiki tumbuh tepat di sisi tebing yang tingginya kira-kira sekitar tujuh meter.

Dan yang lebih memacu adrenalin, dahan pohon ini tumbuh mencondong ke arah tebing memaksa kami berdua untuk duduk penuh waswas tepat di atas jurang.

Belum lagi kondisi dahan yang basah. Berada di tempat ini benar-benar membuat kami serasa berada tepat di depan gerbang kematian.

“Kita pulanglah, bahaya kalo di sini,” ujar Mara mulai merasa taknyaman.

Aku juga mulai merasa taknyaman terus berada di tempat berbahaya ini. Karena itu, aku pun setuju ketika Mara memutuskan untuk mengajakku pulang. Lantas kupegang erat tangannya membiarkannya beranjak turun lebih dulu.

Namun, aku tak menyangka sebuah petaka kemudian terjadi.

Pijakan kakinya salah dan terpeleset sehingga membuat keseimbangan tubuhnya goyah dan membuatnya jatuh seketika.

Beruntung, tanganku yang sedari tadi memegang pergelangannya sekejap langsung mencengkeram erat.

Tarikan gaya gravitasi yang sangat kuat terhadap benda yang melayang di udara membuatku kesulitan untuk menariknya ke atas.

Mati-matian aku berusaha mempertahankan cengkeraman tanganku agar ia tidak terjun bebas. Tangan kiri memegang dahan pohon dan tangan kanan kuat menggenggam tangan Mara.

Rasa sakit menjalar di seluruh otot tubuh bagian atasku dari mulai jari tangan sampai ke leher.

Jika sampai beberapa saat lagi aku tetap takbisa menarik Mara ke tempat semula, aku takbisa menjamin keselamatan kami ke depannya.

Sekilas kulihat wajahnya menunjukkan raut terkejut yang dipadu dengan rasa takut dan cemas. Matanya yang berkaca-kaca membuatku merasa bersalah.

Ya Tuhan, ini salahku. Jikalau kami sekarang ditakdirkan mati, walaupun Kau menyiksaku di akhirat sana sampai seribu tahun, selamanya pun aku takkan pernah memaafkan diriku sendiri.

Tapi nyatanya Tuhan punya rencana lain. Kulihat sebuah dahan berukuran besar berada tepat di bawah kaki Mara, hanya saja sedikit lebih jauh.

Kusuruh dia memijak ke atas permukaan dahan itu dan mengulurkan tanganku lebih rendah lagi guna membantunya berpijak.

Dan berhasil. Kakinya mendarat sempurna di atas dahan itu lantas ia pun merangkak agar ia tidak terpeleset lagi.

Pada akhirnya nyawa kami tertolong. Setelah kami berdua berhasil turun, tiba-tiba saja Mara meninju bahuku dengan sangat keras. Ia tampak sangat kesal.

Tanpa berkata-kata ia bergegas pergi menyusuri jalan pulang, meninggalkanku yang masih tertegun memandang punggungnya yang semakin menjauh.

Dari kejadian itu, aku bisa menyimpulkan kalau nilai semesterku kali ini pasti jeblok karena takada lagi cara yang bisa kulakukan untuk mengikuti kuliah daring.

Upaya terakhir yang aku kira akan efektif ternyata membahayakan nyawaku dan nyawa temanku. Ah, semoga kuliah daring ini cepat berakhir.

[Selesai]

Penulis: Iqbal Maulana

Editor: Limya Oktaviani

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran