Dasar-Dasar Filsafat: Mata Kuliah Filsafat atau Mata Kuliah Menyelamatkan Agama?

Raihan Rizkuloh GP
1351 views

Dalam pikiran saya, mata kuliah filsafat akan berusaha mempertemukan saya dengan dosen-dosen yang gemar sekali mempertanyakan apa-apa yang sudah mapan. Ia akan mempertanyakan lagi soal hakikat, makna, hingga hal-hal yang agaknya malas dibicarakan orang. Setidaknya, dengan ekspektasi saya yang seperti demikian, saya jadi cukup bersemangat ketika link Google Meet dibagikan di grup mata kuliah (matkul) Dasar-Dasar Filsafat (DDF) di WhatsApp.

Tak dinyana, Google Meet yang dibagikan di WA ini ternyata masih belum premium. Hanya bisa memuat 100 orang saja dari 143 yang mengambil matkul ini. Itu artinya, ada 43 orang yang terpaksa tidak bisa mengakses haknya untuk belajar. Ajaib betul, pikir saya. Sudah hampir satu tahun kita melakukan kuliah daring, dipaksa  membayar UKT penuh, tapi untuk memastikan seluruh mahasiswa punya hak saja masih kesulitan minta ampun. Akhirnya atas inisiatif salah satu mahasiswa, 43 orang itu dipindahkan ke Zoom premium milik si mahasiswa tersebut dan salah seorang men-share-screen­-kan pertunjukan filsafat sang dosen di Google Meet.

Bagian yang kacau bukan ini saja. Dosen saya di mata kuliah DDF ini—sebut saja namanya dosen M— malah semakin menurunkan minat saya untuk belajar (dan mungkin juga teman-teman saya yang lain). Bagaimana tidak, di pertemuan pertama saja pertanyaan-pertanyaannya sudah bikin saya senewen seharian, sangat jauh dengan apa yang saya harap sebelum bertemu dengan blio.

Tanpa tedeng aling-aling, ia menanyai apa agama setiap mahasiswa yang diampunya satu per satu. Jika dosen-dosen pada umumnya hanya menanyai nama dan asal daerah –yang tentu saja diperlukan meski sekadar basa-basi—dosen M malah tidak keliatan seperti ‘dosen’ dan lebih mirip seperti malaikat karena tak bisa menahan kegenitan untuk menanyakan apa agama dari setiap mahasiswanya.

Saya, sebenarnya agak kaget, pertanyaan semacam ini kok bisanya-bisanya keluar dari dosen M—yang katanya—baru saja menyelesaikan studi doktoralnya. Oke, mungkin dosen M merasa perlu untuk mengetahui agama setiap orang ketika belajar di matkulnya. Tapi untuk apa? Ini sama sekali nggak dijelaskan dan terkesan ngadi-ngadi. Apakah dia takut mahasiswanya menjadi atheis? Memangnya apa yang salah dari atheis ketika orang-orang beragama banyak menggadaikan hidup orang lain demi mengklaim diri sebagai ‘agama yang paling benar’?

Saya menulis ini bukan karena saya atheis dan juga bukan ingin menyangsikan agama demi merasa ‘edgy’ karena malas ibadah doang. Saya juga menulis ini bukan karena membenci dosen M secara personal, melainkan karena posisi/jabatan dia sebagai ‘dosen’.

Sangat disayangkan, seorang dosen, apalagi dosen filsafat, tidak mampu membedakan mana ruang publik dan mana ruang privat. Pertanyaan soal agamamu apa itu ruang privat, jika seseorang cukup teredukasi, ia hanya akan menganggap bahwa agama itu urusan diri sendiri dengan tuhan, bukan dengan dosen.

Beberapa teman saya, sih, ada yang menjawab. Ada yang Islam, Kristen, Buddha, dan lain-lain. Tetapi dosen M tidak pernah menjelaskan maksud dan tujuannya apa dengan menanyakan hal tersebut. Inilah yang membikin saya jengkel. Sebagian orang ada yang biasa-biasa bahkan bangga menunjukkan identitas agamanya. Namun di sisi lain, tak sedikit orang, termasuk saya, yang malah tersinggung dengan pertanyaan semacam ini. Alasannya simpel, kalo udah tahu agama kita terus selanjutnya apa? Supaya tahu kalo kelak kita meninggal akan dimakamkan seperti apa? Apa urgensinya menanyakan hal itu?

Lagipula, pertanyaan dosen M jelas menginsinuasikan bahwa kita semua ada dalam suasana ‘harus beragama’. Padahal, beragama adalah hak. Dan selayaknya hak, ia bisa diaktifkan atau tidak. Tenang saja, Pak. Beragama atau tidak, tak menjamin sikap seseorang akan sama seperti apa yang mereka anut. Dan yang paling penting, untuk menjadi orang penuh belas kasih dan mengerti dasar-dasar filsafat, seseorang tidak perlu mempunyai atribut-atribut keagamaan dulu. Mereka tak perlu bilang saya Islam, saya Kristen, saya Buddha, saya Khonghucu, atau lain-lain hanya untuk memahami ‘filsafat’ yang barangkali menurut Bapak adalah barang asing penuh marabahaya, penuh kekacauan, dan kemuraman ini.

Pada akhirnya, saya justru malah berpikir kalo kita ini (sepertinya) nggak akan belajar dasar-dasar filsafat. Tapi justru malah belajar mata kuliah ‘menyelamatkan agama’. Sesuatu yang agaknya sangat berharga bagi rakyat Indonesia dan tentu saja, bagi bapak dosen ini.

Editor: Ananda Bintang

guest

2 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Chyn

Hmm, emg jengkel ya kl br kali pertama pertemuan aja udh dibeginiin, beneran bs merusak mood bljr matkul DDF di minggu2 selanjutnya. Jujur aku yg udh ambil matkul ini 2 taun lalu kaget dah tipe dosen yg ngajarnya kek gini.. kl aku justru wktu itu bedaaaa bgt dan beda orang, kebetulan jg beliau dosen prodiku dan syukurnya, beliau bener2 dng baik dan berbobot ngajarin materi filsafat, sampe dibabakkan gitu dr masa A ke B ke C gitu deh, kita jd familiar jg sm tokoh2nya. Smoga kelak kelasmu nanti bisa mirip2 begitu yaa, sekalian deh coba dosen M diganti sama dosen DDF-ku waktu itu huehe

[…] menulis ini di Pena Budaya, Pers Mahasiswa fakultas saya. Jika Anda penasaran seperti apa, sila lihat […]

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran