Cinta yang Gila dan Bodoh, Adalah Cinta yang Harus Diperjuangkan

M. Averyl Aziz
1134 views

Steve Carell, banyak orang mengenalnya sebagai aktor yang sangat piawai dengan akting konyolnya yang menggelitik. Layaknya aktor-aktor lain, seperti Baron Cohen atau Adam Sandler yang selalu dikaitkan keberadaannya dengan film-film comedy. Steve Carell yang sejak awal film saya nantikan kebegoannya seperti di film Anchorman: The Legend of Ron Burgundy, dalam film ini justru ia mampu membuat saya merasakan kepedihan yang hampir sama saat menyaksikan kisah Tom Hansen dalam film 500 Days of Summer.

Alih-alih film yang awalnya saya kira akan menggelitik, ternyata sangatlah hurtful karena diawali dengan cerita Cal (Steve Carell) yang digugat cerai istrinya, Emily. Pengakuan Emily yang telah berselingkuh dengan teman kantornya menyebabkan runtuhnya pernikahan mereka yang sudah mereka lewati sejak umur masih amat muda. Cal yang merupakan representasi lelaki yang baik, tidak neko-neko, harus menerima kenyataan pahit. Di saat banyak perempuan berpikir bahwa lelaki yang setia adalah adalah lelaki sepertinya, namun tetap saja ia bisa dikhianati.

Lalu, Cal bertemu dengan seorang anak muda di bar, yang bisa dibilang “pemain”, berpakaian necis, berbadan atletis, dan punya kharisma yang kuat, Jacob namanya. Lalu, setelah itu Cal yang patah hati karena akan diceraikan istrinya dilatih oleh Jacob untuk menjadi lelaki yang tidak culun dan bisa segera move on dari Emily dengan cara berkencan bersama wanita lain. Pada awalnya memang berjalan lancar, hingga ternyata Cal hanya mencintai Emily.

Entah mengapa, film Crazy, Stupid, Love benar-benar menggabungkan tiga unsur rasa tersebut. Di mana cinta adalah suatu hal yang tidak bisa diukur oleh pengetahuan ataupun tidak bisa diukur oleh kecerdasan seseorang. Saat cinta mulai tidak bisa diterima akal sehat, cinta membuat seseorang menjadi gila, entah itu dalam konteks positif maupun negatif, mungkin keduanya. Cinta itu sumber kegilaan, sumber di mana hal-hal tidak terduga mungkin saja bisa dihapus dari kamus yang ada di setiap kepala manusia. Cinta adalah cinta, tak ada yang lain. The most dangerous game. Tapi, bukankah setiap orang suka bermain meski tahu resikonya sangat besar?
Ketika saya menonton film ini, saya seperti ingin terus berkata kasar dan protes. God damn Steve, are u fuckin’ Gandhi or Buddha or what? Steve atau Cal tak habis-habisnya membuat saya kagum dan terpesona oleh aktingnya yang sangat baik dan terdapat banyak pesan yang disampaikan oleh Steve Carell dalam karakter Cal, yang tidak mungkin disampaikan Steve. Salah satunya adalah bahwa tentu, cinta harus diperjuangkan. Seperti pada kutipan:

            “I will never stop trying. Because when you find the one… you never give up.”

Terutama, mungkin bagi pembaca yang sedang jatuh cinta, tengah ragu mendekati seorang perempuan. Perjuangkan. Karena sesulit apapun, setidakmungkin apapun. Perempuan layak untuk diperjuangkan. Sebetulnya, film ini juga menyentil bahkan menampar saya dengan keras. Takut, bingung harus memulai dari mana, tapi sepertinya dialah the one.

Di dalam film ini juga menceritakan kisah cinta Robbie, anak Cal yang jatuh cinta pada babysitter-nya yang lebih tua 4 tahun. Robbie selalu dianggap sebagai anak kecil yang tak tahu apa-apa soal cinta. Cinta monyet. Padahal, cinta tak mengenal waktu, tak mengenal usia. Selama hati masih berfungsi, manusia sekecil apa pun, semuda apa pun pasti bisa merasakan sesuatu.

            “It’s easy to just look at a thirteen year old and say ‘you don’t know what are you talking about, you are wrong,’ but i’m not so sure.”

Kadang yang luput dari beberapa orang juga, suka menganggap sepele soal perasaan yang dirasakan orang lain. Stop! Perasaan tak sebercanda itu. Walaupun tidak suka, tetap saja mencintai seseorang adalah perjuangan. Diam juga perjuangan, menahan getirnya hasrat kala mencari kebenaran apakah benar-benar jatuh, atau hanya obsesi semata. Soal perasaan tidak pernah ada yang salah, tidak pernah ada yang jahat atau yang baik. Hanya apakah memang dia (she or he) is the one. Sampai seseorang mengetahuinya cinta bukan hanya layak, tapi harus diperjuangkan.

Cal mengajarkan, bahwa cinta adalah hal sepele yang sebenarnya tidak sepele. Cinta adalah semangkuk sereal yang lezat, tapi bisa menjadi memuakkan saat memasukan jus jeruk ke dalamnya. Dan mungkin sebaiknya saya mengatakan, untuk diri sendiri dan pembaca yang mungkin mengalami nasib serupa: jatuh cinta bukanlah pilihan, namun tanggung jawab. Maka, lebih baik mencoba dan gagal, daripada tidak melaksanakan “kewajiban”. Atau penyesalan yang akan terus menghantui sehingga menjadi luka yang menolak diobati.

            Jadi, jatuh cinta? Selamat berjuang, rekan!

Editor : Irna Rahmawati
Desain : Azka Nadayana

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran