AMELIS: SEBUAH TEROR YANG ROMANTIS DAN TEKNIK MENYENGSARAKAN PENONTON YANG MENYENANGKAN

Redaksi Pena Budaya
803 views

 

Sumber: google.com

Untuk kalian yang awam pada film Amelis, jangan khawatir karena film ini memang bukan film yang dibuat dengan tujuan komersial. Hanya film pendek yang digarap oleh Dery Prananda dan pemutarannya pun terbatas pada festival dan kompetisi film saja. Sebagai film pendek, prestasi yang didapatkan Amelis tidak bisa dianggap enteng, sebutlah nominasi film pendek terbaik dalam ajang Piala Maya dan juara pertama kompetisi film Indonesia-Australia. Dari dua prestasi itu saja Anda mungkin sudah bisa meraba kualitas yang dimilikinya. Jadi, ketika Anda mempunyai akses untuk menonton film ini, tontonlah!

Amelis, sebagai film cerita, menyorot kehidupan manusia malang yang memperjuangkan kematian. Film ini mengisahkan lelaki yang harus memulangkan jenazah ayahnya dengan cara yang tidak diduga: sebuah penyamaran dan upaya mengelabui manusia. Amelis menyuguhkan cerita takbiasa manusia, semacam cerita penjual korek api dalam Prenjak (2016).

Gaya penceritaan yang satire, ironi, sekaligus horor dalam film ini mampu menimbulkan teror. Seperti konduktor, teror-teror itu merupakan cara bagi sutradara film ini untuk berdialog dari hati ke hati dengan penonton, untuk ikut bersimpati sekaligus cemas pada dua tokoh utama. Dan lewat teror-teror yang ditimbulkan dari gaya penceritaan itulah film ini mampu mentransfer semangatnya dengan baik.

Tema Amelis, hubungan antara anak dan bapak, sebenarnya tidak terlalu istimewa. Justru yang membuatnya istimewa adalah situasi yang mendebat tokoh-tokohnya. Situasi ini jugalah yang menyebabkan munculnya teror-teror seperti yang disebutkan di atas. Dan tema dan keadaan itu diiriskan dengan motif cerita yaitu kematian salah satu tokohnya.

Kematian, sebagai motif cerita, memiliki dua respon sudut pandang yang keduanya memiliki keanehan. Pertama, menarik sekali mengetahui bahwa tokoh-tokoh pendukung film memiliki respon yang tidak jelas terhadap keberadaan jenazah tokoh bapak di dalam angkutan. Hal ini terjadi karena ketidakfokusan film pada kematian dan jenazah sehingga tokoh-tokoh pendukung cenderung bingung atas alasan respon ketakutan yang dilakukan. Kedua, dari sudut pandang penonton─respon yang sifatnya cenderung subjektif─perlakuan tokoh anak pada jenazah bapaknya menimbulkan impresi romantis yang absurd. Upaya mengelabui penumpang dengan cara menyamarkan jenazah menjadi orang hidup sangat sukar dibayangkan, namun adanya hubungan emosional antara dua tokoh utama membuatnya dengan mudah diloloskan sebagai romantisisme yang, bagaimanapun, menjadi keunggulan cerita yang terlalu cerdas untuk diabaikan.

Keunggulan-keunggulan lainnya terdapat dalam konsep visual thinking. Jika biasanya film memanjakan penonton dengan hal-hal teknis, Amelis membalikkan beberapa kemanjaan tersebut. Dengan kata lain, dalam beberapa hal, Amelis menyengsarakan penontonnya dengan menghilangkan beberapa aspek. Pertama, warna monokrom. Karena ini film pendek, akan sangat aneh jika keterbatasan biaya memaksa sutradara memonokromkan filmnya karena tidak sanggup dalam pengadaan alat seperti yang dilakukan film panjang Siti (2014). Kedua, dialog antartokoh. Lima menit durasi film ini tidak sedikit pun menyuguhkan dialog. Dua kemanjaan yang dihilangkan membuat film ini terasa seperti film sebelum tahun 1920-an dengan gaya 2000-an. Meskipun begitu, dua hal tersebutlah (warna monokrom dan hilangnya dialog) yang membuat film ini unggul sebagai film yang tulus, polos, dan apa adanya

Selanjutnya, hal lain yang menguatkan film ini sebagai film yang tulus ialah alur dan konflik yang sederhana, yang terfokus pada bagaimana. Film ini, di luar film pendek yang harus ringkas dan padat, memiliki ketajaman gagasan dan keruntutan peristiwa yang terarah. Hal ini tidak akan didapat jika film tidak fokus pada satu pertanyaan. Itu pula yang membuat Amelis jauh dari intrik dan pretensi yang tidak perlu dan lebih berfungsi sebagai pemanis, jika tidak mau disebut sekadar tempelan.

Menilik salah satu film pendek Indonesia yang berjudul Amelis, dapatlah ditarik simpulan bahwa film pendek sudah seharusnya diperhitungkan dan dipandang secara serius oleh para penikmat film sebagai film alternatif selain film panjang. Posisi film pendek pun seyogyanya disejajarkan dengan film panjang, sebab film pendek terkadang memuat gagasan yang lebih terfokus dan tajam daripada film panjang. Pandangan-pandangan negatif yang menyebutkan film pendek sebagai film main-main dengan barometer biaya produksi juga seharusnya ditanggalkan sebagai bentuk apresiasi dan perayaan atas kebebasan berekspresi dari nilai-nilai yang tidak jelas bentuknya. (RS)

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran