Aku, Setangkai Daisy

Munawaroh
929 views

Saat ini kisah percintaan tidak sedang menghampiriku bahkan ketika aku berada di tempat yang menghadirkan ribuan masa. Pernah sesekali aku membayangkan, jangan-jangan masinis yang sedang menjalankan kereta ini adalah jodohku, atau orang yang mengambilkan buku yang tak sengaja kujatuhkan, jangan-jangan dia juga adalah jodohku? Praduga yang selalu kupikirkan saking aku ingin berkecimpung pada dunia percintaan. Ya, itulah ketidaksinkronanku terhadap keinginanku yang sebenarnya. Aku juga tidak paham apa yang sebenarnya aku inginkan, kisah cinta seperti apa yang benar-benar aku nantikan, aku benar-benar tidak tahu.

Umurku sudah dua puluh tiga tahun. Hampir setahun mengabdi pada perusahaan besar di kawasan Jakarta Selatan. Gaji terbilang besar, memiliki teman kantor yang baik, serta fasilitas kantor yang sangat nyaman membuatku selalu ingin mengabdi di perusahaan ini sampai nanti. Di kantor, aku mengamati adanya senior yang benar-benar tertarik kepadaku. Dia terkadang mengantarkanku pulang, mentraktirku makan, membantu pekerjaan kantor, dan mengirimkanku pesan setiap saat. Jika aku benar-benar tertarik ingin berkecimpung pada dunia percintaan, mungkin aku sudah memacarinya dari lama. Tapi entahlah, aku tidak terlalu tertarik padanya.

Rutinitasku ketika pulang kerja adalah pergi ke stasiun, membeli onigiri yang tersisa di minimarket, memakan onigiri itu sambil menunggu kereta datang, lalu turun di stasiun Citayam, dan berjalan kaki selama lima menit untuk benar-benar sampai di rumahku. Saat masuk rumah, aku akan menyapa makhluk-makhluk di dalam rumah, seperti cicak dan makhluk tak kasat mata di ruangan hampa. Tak sampai situ, aku segera mandi selama tiga puluh menit, setelah itu memakai skincare, dan menjelang tidur, aku akan membaca satu bab dari buku yang kubeli. Setelah semua itu dilalui, aku akan benar-benar tidur.

Malam ini, aku memutuskan untuk mengecek handphone sebentar. Ternyata ada pesan dari seniorku. Dia mengajakku ke kebun binatang di akhir pekan. Entah karena rasa kantuk yang menyerang hingga membuatku tak sadar, aku mengiyakan ajakannya.

***

Hari Sabtu tepat jam sepuluh, aku sudah mengantre di depan pemesanan tiket masuk kebun binatang. Setelah aku mendapatkan tiket itu, aku mencoba menghubungi seniorku yang tak kunjung datang.

“Halo, Kak. Ini aku…”

Telpon itu seketika terputus. Ada apa dengannya?

Tiba-tiba ada pesan masuk, “Maaf, aku lupa mengabari kalau kucingku sedang sakit dan aku sedang di dokter hewan sekarang. Sekali lagi maaf. Kapan-kapan aku akan mentraktirmu makan untuk menebus kesalahanku hari ini. Aku benar-benar minta maaf.”

“Baiklah,” kataku sambil menghela napas. “Lekas sembuh kucingnya, kak! Aku tidak apa-apa kok. Santai saja,” jawabku membalas pesannya. Sepertinya hanya aku yang tak memiliki kucing.

***

“Mamah, lihat! Orangutannya terbang…” seru anak kecil berusia sekitar empat tahun sambil menunjuk ke atas pohon beringin.

Satu kilometer dari tempat itu, aku duduk di tempat sepi jauh dari jangkauan orang-orang. Banyak yang aku pikirkan sambil menyeruput infused water yang kubawa dari rumah. Selain itu, aku juga membawa beberapa bekal seperti sushi, telur gulung, tahu jepang dan brokoli goreng. Aku sengaja membawa dua bekal, namun secara terpaksa kini aku harus menghabiskannya seorang diri.

Aku memulai suapan pertama dengan memasukkan satu sushi ke dalam mulutku. Saat mengunyah, aku tak sadar bahwa telah berurai air mata. Rasa sesak yang selama ini aku simpan, saat ini telah meledak di tempat yang tak seharusnya. Suara tonggeret menyahuti tangisan parauku. Sambil memeluk kedua lututku, aku seperti anak hilang di tengah hutan: sendiri, kesepian, dan ketakutan.

Tangisanku mulai berhenti ketika aku mendengar suara daun kering yang beradu. Suara tonggoret yang sejak tadi menemaniku seketika hilang. Aku mulai cemas, jangan-jangan itu ular. Aku ingin mati cepat tetapi aku tidak ingin mati di kebun binatang. Aku bediri mengibas rokku yang dipenuhi oleh tanah. Tak sempat melarikan diri, sosok yang mencurigakan itu muncul di hadapanku.

“Ah ternyata kau,” ucapku lega sambil jatuh terduduk dan mulai menangis lagi. Setelah menangis selama lima menit lebih, aku benar-benar menyadari ada yang salah dengan situasi ini. “Aku pikir kau manusia. Kenapa kau di sini?” tanyaku sambil menyusut ingusku.

Dia hanya menatapku dalam tanpa berbicara apa-apa. Matanya penuh empati. Dia pun mulai mendekatiku sampai-sampai membuatku merinding. Tiba-tiba dia menepuk pundakku seolah mengerti apa yang sedang aku rasakan. Dan aku mulai berurai air mata lagi.

Orangutan yang sedang menatapku ini sepertinya orangutan betina. Terkadang dia memelukku erat ketika suara tangisku mengeras, terkadang dia membelai rambutku ketika aku berusaha untuk mengelap ingusku, dan terkadang dia hanya terdiam sambil mendengarkan seksama curahan hatiku. Dia seperti manusia yang mengerti situasi dan keadaan.

“Kau tahu, aku menangis karena aku tak punya alasan menangis. Sampai sini mungkin aku mencari-cari alasan dan menyalahkan beberapa keadaan, tapi di dalam lubuk hatiku yang terdalam, alasanku menangis adalah aku begitu kesepian.”

“Sebenarnya aku tidak ingin ke kebun binatang. Aku hanya ingin pergi ke taman bunga untuk menyegarkan pikiran. Kau bisa menebak apa yang ingin aku temui disana?” aku terdiam sejenak sambil sesenggukkan. “Bunga Daisy.”

“Aku belum pernah melihat bunga Daisy secara langsung sebelumnya, namun saat aku melihatnya di buku yang kupinjam dari perpustakaan Sekolah Dasar, bentuknya yang kecil dan warnanya yang kontras membuat perasaanku menjadi senang. Dan bunga itu konon katanya adalah mata pertama yang menyambut matahari pagi setiap hari.”

“Selama ini aku hidup bercermin pada bunga Daisy, dengan penuh semangat aku selalu menyambut dunia dengan keceriaanku. Aku ingin penjuru dunia tahu bahwa aku Daisy yang menjelma menjadi manusia: memberi ketenangan dan kenyamanan. Namun yang membedakan, aku menjalani keseharian itu dengan palsu. Miris, bukan?”

Aku menghela napas, “Kehidupan keluargaku hancur sejak aku Sekolah Dasar. Ayah dan ibuku justru sama sekali tidak menginginkanku ada. Mereka kabur entah kemana. Dan akhirnya aku hidup menempel seperti parasit pada keluarga paman.”

“Hidup dengan rasa kesepian dan bertingkah palsu sebagai pelampiasan membuatku sadar, bahwa aku tidak ingin menjadi manusia buangan. Maka dari itu, sampai sekarang aku selalu ingin memastikan agar orang lain menyukaiku.”

“Kau bukan orangutan buangan, kan?” hening. “Ngomong-ngomong, sejak kapan kau berpisah dengan keluargamu di Kalimantan?” tanyaku kepada orangutan yang sedang termangu di hadapanku. Beberapa detik kemudian matanya berkedip-kedip seperti seorang anak manusia yang polos.

Aku tertawa lepas, “Aku tak ingin tertawa, tapi kau sudah menghiburku dengan tingkahmu.”

“Maaf, maaf,” aku mencoba berhenti tertawa.

Aku menghebuskan napas untuk kesekian kalinya, “Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya mengganggu hati dan pikiranku sampai-sampai aku begitu terpuruk. Namun setelah aku sadar diri, ternyata ada keresahan yang tak tersampaikan, ada ketakutan yang ingin terus ditutupi… aku terus menyimpannya di dalam hati dan pikiranku bahwa aku begitu kesepian sehingga aku melakukan segala hal untuk berpura-pura kuat. Sepertinya kau juga begitu, orangutan. Kau menggemaskan tapi aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan sekarang.”

Mata kami beradu.

“Kau mau brokoli?” aku menyerahkan brokoli kepadanya. Dia memakannya dengan lahap. Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahnya.

***

“Jalur satu… akan segera masuk commuter line tujuan akhir stasiun Bogor.”

Suara itu memecah lamunanku.

Malam ini seperti biasa. Aku telah meghabiskan onigiriku sejak tadi. Membuang sampahnya ketika suara kereta dari kejauhan sudah terdengar.

Satu persatu gerbong kereta melewatiku dan mengibas rok panjangku. Pintu gerbong wanita terbuka, ada beberapa orang yang keluar dari gerbong. Setelah itu, aku memasukinya lebih cepat agar mendapatkan tempat duduk, namun kenyataanya tidak.

Aku menggantungkan lenganku di pegangan. Tangan kananku mencoba untuk merogoh handphone di saku. Aku hendak mengecek barangkali ada pesan, namun teralihkan dengan foto di wallpaper handphone. Aku tersenyum memandangi foto selfie Daisy dan aku. di foto itu aku terlihat jelek. Mataku bengkak dan hidungku merah. 

Tampaknya hari dimana aku bertemu dengan Daisy menjadi pengalaman baru bagiku. Saat itu aku mengantarnya pulang ke kandangnya. Kami bergandengan tangan dan berjalan kaki sekitar 500 meter sebelum akhirnya bertemu dengan petugas yang mencari Daisy.

Nama Daisy bukan nama aslinya. Itu nama pemberianku. Daisy yang berarti kepolosan merupakan nama yang tepat yang kuberikan pada orangutan betina itu. Dia seperti bunga Daisy bagiku kala itu. Setia menemani dan menerangi hatiku dengan kepolosannya.

Kita bahkan tidak pernah tahu kehidupan akan berjalan seperti apa. Saat kita melampiaskan sesuatu dengan banyak alasan, saat itu kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita inginkan. Kita tidak akan pernah menyadari bahkan ketika kita sudah merenung seorang diri, kita hanya perlu disadarkan oleh seseorang berulang kali, entah oleh karena perkataannya ataupun sebatas kehadirannya.

Aku tersenyum setelah mendengarkan kata-kata dari tayangan yang disediakan oleh kereta Commuter line. Suara laju kereta beradu dengan musik Pachelbel’s Canon yang kudengar selanjutnya. Musik itu membuatku tersenyum dan membawaku pada khayalan yang kubuat sendiri: di negeri dongeng yang berlatarbelakang taman bunga Daisy dan tokoh utama “aku” ditakdirkan untuk tidak pernah kesepian.

Editor Irna Rahmawati

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran